PENDAHULUAN
Pencak
silat adalah sistem bela diri yang dikenal baru setelah kemerdekaan.
Sebelumnya kedua kata ini belumlah terkenal. Namun pemisahan dua kata
tersebut menjadi pencak yang memiliki artian “permainan”, teoritis dan
propan ataupun silat yang suatu sistem bela diri yang sungguh-sungguh,
praktis dan sakral telah dikenal sebagian masyarakat kita terdahulu
terutama yang berada dipulau Jawa, Bali dan Madura. Sementara kata silat
lebih akrab didengar di masyarakat rumpun Melayu. Tatar Pasundan
merupakan salah satu daerah sumber yang memiliki banyak dan beragam
aliran, yang mewarnai persilatan dunia. Beberapa istilah pencak silat
yang dikenal dalam masyarakat Sunda antara lain penca silat, penca,
silat, amengan, ulin dan maenpo.
Kesemuanya ini merupakan suatu hasil
dari kekayaan intelektual para leluhur bangsa ini yang yang arif dalam
memandang harmoni kehidupan. Namun kini seiring dengan semakin pesatnya
laju kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang kian modern,
informasi mengenai pencak silat, penca, silat ataupun maenpo bukan
semakin melekat erat namun semakin jauh dan serasa asing di
masyarakatnya sendiri terutama generasi muda. Adalah merupakan tanggung
jawab kita bersama dalam kearifan menyikapi kelangsungan hidup juga
kelestarian pencak silat di dalam konteks jaman. Agar senantiasa pencak
silat yang dengan segala nilai-nilai keluhurannya dapat mempertahankan
keberadaannya di tengah arus budaya global yang kian menderanya.
Sejarah Maenpo Cikalong
Pencak
Silat, ada pendapat yang menafsirkan dengan memisahkan arti dari kedua
kata namun ada pula yang menganggap kedua kata tersebut sebagai bentuk
dari penyatuan kata. Pendapat pertama yang memisahkan artian kata
berpendapat bahwa Pencak adalah bentuk permainan (keahlian) untuk
mempertahankan diri dengan menangkis, mengelak dan sebagainya. Sementara
silat adalah kepandaian berkelahi, seni bela diri yang berasal dari
Indonesia dengan ketangkasan membela diri dan menyerang untuk
pertandingan atau perkelahian (KBBI, Pusat Bahasa 2008) Namun kesemuanya
itu memiliki kesamaan subtansi di dalam hal pengertian. Tokohtokoh
pendiri IPSI menyepakati pengertian pencak silat dengan tidak lagi
membedakan pengertian antara pencak dan silat karena memiliki pengertian
yang sama. Kata pencak silat adalah istilah resmi yang digunakan
Indonesia untuk bela diri rumpun Melayu ini, sementara negara-negara
lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam lebih memilih kata
silat.
(Perbincangan dengan Bapak Eddie M. Nalapraya , 26 Mei 2007)
Di
Tatar Pasundan istilah bela diri pencak silat dikenal kata penca,
silat, penca silat dan maenpo. Untuk kata penca terdapat di dalam
manuskrip Sanghyang ikshakandha Ng Karesiyan, kidung Sunda mengenai
tragedi Bubat (1346M), Dyah Pitaloka beserta Ayahya Prabu Maharaja
Linggabuwana Wisesa dan ibundanya Retna Lisning yang tewas di dalam
pertempuran yang sangat tidak berimbang dalam jumlah melawan pasukan
kerajaan Majapahit yang menyerangnya.
puluh-puluh rombongan heunteu kaitung
tujuh rupa penca, anu ulin pakarang bae
lain deui bangsa, serimpi bedaya
(hoen 1878:99)
(palagan bubat, soepandi & atmadibrata 1977:45)
Meski
induk organisasi pencak silat (IPSI) telah menyepakati tentang
pengertian pencak silat itu sendiri, namun demikian dalam masyarakat
tradisional Sunda sendiri masih banyak yang mengartikan kata pencak
silat sebagai dua kata yang berbeda. Penca sering diartikan sebagai
suatu bentuk bela diri yang masih dapat diperlihatkan sebagai bentuk
kesenian yang kadang diidentikkan dengan ibing (penca : kaasup olah raga
bela diri ngagunakeun karikatan jeung kapinteran ngagerakkeun anggahota
badan biasana bari ditabuhan ku kendang penca / termasuk olah raga bela
diri yang menggunakan ketangkasan dan kepandaian menggerakkan anggota
badan yang biasanya diiringi tetabuhan gendang pencak, Kamus Basa Sunda :
R.A. Danadibrata, hal : 514), sementara silat adalah bentuk bela diri
atau ilmu perkelahian dan pertempuran yang sesungguhnya yang hanya
dikeluarkan pada saat yang mendesak dan tabu untuk dipertontonkan kepada
khalayak ramai. Dengan bahasa keseharian penca sering diidentikan
dengan kembangna (kembangnya) sedangkan silat buahna, eusina atau intina
(buahnya, isinya atau intinya).
1. Asal kata maenpo
Sementara
istilah lain dalam bahasa Sunda, khususnya daerah Cianjur pencak silat
lebih dikenal dengan sebutan maenpo, meski diakui perkembangan istilah
ini tidak sepesat pencak silat dan masih kurang akrab didengar di
telinga masyarakat Indonesia. Dan orang yang membawa serta mempopulerkan
istilah maenpo ini pada masyarakat Cianjur adalah Raden Haji Ibrahim
Jayaperbata dikenal sebagai pendiri aliran Cikalong. Pengertian kata
maenpo sendiri ada yang menerjemahkan terdiri menjadi dua kata serta
dipisahkan penulisannya yaitu maen (permaenan) dan po (poho) yang
berarti lupa begitu pula dalam penulisannya, seperti yang pernah di
tulis O’ong Maryono dalam bukunya “Pencak Silat Merentang Waktu”. Selain
itu ada juga pendapat yang menuliskannya menjadi satu kata yakni
maenpo. Kata maenpo ada juga yang menjadikannya akronim kata maen anu
euweuh tempo di populerkan oleh Raden Haji Tarmidi (keponakan dari Raden
Haji Ibrahim Jayaperbata). Akronim ini menggambarkan maenpo sebagai
suatu seni bela diri yang memiliki pola dan teknik permainan yang yang
sangat cepat yang tidak memberikan tenggang waktu yang panjang dan
kesempatan bergerak kepada lawan yang dihadapi. Dalam maenpo sendiri
pergerakan baik dalam menyerang maupun dalam menahan atau membendung
serangan lawan, banyak memanfaatkan celah waktu yang sempit yang dapat
mempersulit pergerakan dan posisi lawan. Selain itu ada pula yang
mengkaitkan kata po sebagai serapan dari bahasa Cina yang berarti
kepalan tangan / pukulan. Hal ini dapat dipahami karena para guru Raden
Haji Ibrahim Jayaperbata tinggal di Batavia dimana kemungkinan pengaruh
penggunaan istilah bahasa Cina banyak yang menjadi serapan dan bagian
dari bahasa keseharian masyarakat Betawi yang kemudian terbawanya
penggunaan kata maenpo sebgai istilah ke dalam pembendaharaan kata
bahasa Sunda. orang Betawi masih menggunakan dan akrab dengan istilah
maen pukulan sebagai padanan kata pencak silat hingga sampai sekarang.
2. Sejarah Maenpo Cikalong
Aliran
Cikalong adalah aliran pencak silat yang berasal dari daerah Cianjur,
tepatnya desa Cikalong -Cikundul (tempat awal mula berdirinya Cianjur)
yang berada kini di kecamatan Cikalong Kulon lokasi ini dapat ditempuh
melalui rute jalur alternatif dari Jakarta melalui Jonggol. Kebanyakan
orang mengira bahwa aliran Cikalong ini adalah merupakan bela diri yang
terinspirasi dari teknik perkelahian hewan mamalia terbang yaitu kalong
(pteropus edulis) atau kelelawar besar berdasarkan pada kata dari aliran
ini. Maenpo Cikalong sama sekali tidak mengambil bentuk atau
terinspirasi dari hewan, Maenpo Cikalong adalah aliran bela diri pencak
silat yang merupakan hasil perenungan dari Raden Jayaperbata setelah
menunaikan rukun Islam ke lima, Raden Jayaperbata berganti nama menjadi
Raden Haji Ibrahim Jayaperbata.
Raden Haji Ibrahim Jayaperbata yang
terlahir dari keluarga ningrat dan bangsawan Cianjur, leluhurnya adalah
merupakan salah satu pendiri Cianjur. Lahir diawal abad XVIII atau
tepatnya pada tahun 1816 meninggal tahun 1906, di desa Cikalong.
Diketahui bahwa salah satu dari leluhurnya, Raden Wiranagara atau yang
dikenal dengan nama Aria Cikalong pernah berguru dan membawa seorang
ahli silat bernama Embah Kahir atau Embah Khaer yang kemudian menetap
dikenal sebagai aliran Cimande ke keluarga ini hingga dikenal aliran
bela diri ini ke masyarakat luas.
Silsilah leluhur Raden JayaperbataKangjeng Dalem Raden Wiratanudatar I (Kanjeng Dalem Cikundul)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar II (Kanjeng Dalem Tarikolot)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar III (Kanjeng Dalem Dicondre)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar IV (Kanjeng Dalem Sabirudin)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar V (Kanjeng Dalem Muhyidin)
Kangjeng Dalem Raden Wiratanudatar VI (Kanjeng Dalem Dipati Enoh)
Raden. Wiranagara (Aria Cikalong)
Raden. Rajadireja (Aom Raja) Cikalong
Raden. Jayaperbata (Rd. Haji Ibrahim)
Guru - guru dan Aliran yang Pernah Dipelajari
tak
kurang dari 17 (tujuh belas) guru / perguruan Raden Jayaperbata menimba
ilmu bela diri pencak silat, Kebanyakan dari aliran yang dipelajarinya
adalah memiliki dasar Cimande. Hal ini dapat dipahami karena saat itu
telah berkembang pesat aliran Cimande dan menjadi rujukan bagi perguruan
silat yang berada di Tatar Pasundan. Namun dari sekian banyak perguruan
dan guru yang dijadikan tempat menimba ilmunya hanya ada empat guru
yang menjadi figur sentral dalam aliran Cikalong yang di kemudian hari.
Mereka adalah :
a. Raden Ateng Alimuddin
b. Bang Ma’ruf / Rauf
c. Bang Madi
d. Bang Kari.
Keempat
guru inilah yang sangat mempengaruhi bentuk jurus, pola langkah maupun
pengerahan tenaga pada aliran Cikalong. Sementara Sabandar atau Mama
Kosim atau Mohammad Kosim (1766-1880) yang merupakan seorang pendekar
pencak silat Sumatra Barat tepatnya dari Pagaruyung yang pernah berada
dan menetap di daerah Sabandar-Cianjur nantinya akan menjadi bagian dari
rumusan pola pengerahan tenaga aliran Cikalong pada generasi kedua dan
seterusnya, sehingga memperkaya kaidah yang
dimiliki aliran ini.
Hakikat Maenpo Cikalong
Kemampuan
mengatasi atau menaklukkan lawan tidak hanya dengan kekuatan jasmani
semata namun lebih kepada kemampuan akal dan teknis sehingga terhindar
dari malapetaka baik diri sendiri ataupun orang lain, sesungguhnya
maenpo Cikalong adalah sebagai alat tali silaturahmi dan persaudaraan.
Membeladiri bukan untuk mencelakai lawan, namun Membeladiri dan
menyelamatkan lawan
Maenpo
Cikalong memandang bahwa keahlian dalam menguasai bela diri sepenuhnya
adalah sebagai alat kontrol yang senantiasa mempertimbangkan rasio dan
hati (rasa) dalam bertindak dan menganggap bahwa perkelahian bukan
merupakan pilihan utama dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dan
ada. Karena keilmuan dalam maenpo Cikalong ditujukan untuk kebaikan dan
ibadah bagi yang menyebarkannya maka tindakan menjaga nilai-nilai
tersebut perlu dilakukan, yang sering menjadi kendala bagi
perkembangannya dan sekaligus menjadi nilai tambah dan keunikan dari
aliran maenpo Cikalong ini adalah persyaratan yang terkenal begitu
selektif dan ketat. Maenpo Cikalong memandang bahwa ilmu, keterampilan,
sikap yang dipelajari lebih dari sekedar “bela diri” sebagai sarana
mempertahankan diri namun lebih kepada “aji diri” yakni pemahaman yang
lebih mengkaji segala akibat tindakan yang akan dilakukan kepada orang
lain jika hal tersebut terjadi pada diri sendiri.
sangat
sulit untuk mengetahui siapa yang sudah tinggi ilmunya dan siapa yang
masih rendah, sebab apa yang tampak , misalnya kebagusan ibing (tari
penca) tidak dapat di jadikan
patokan kemahiran penca.BELAJAR MAENPO CIKALONG
”Ulah hayang ngan bisa lamun diajar Cikalong mah, ngan kudu ngarti...”
Dalam
maenpo Cikalong mempelajari ilmu adalah suatu kegiatan yang tidak
mengenal kata tamat. Salah satu bentuk pesan yang pernah dikatakan oleh
penyebar generasi pertama, Raden Obing Ibrahim (1860-1942) mengatakan:
Diingatkan
kepada semua yang sedang belajar atau yang sudah belajar amengan
(penca), janganlah sampai melanggar nasihat gurunya, seperti mencoba
ilmu orang lain atau memamerkan gerakan di jalan atau di tempat umum,
sebab hal demikian kurang pantas. Belajar amengan itu tidak ada
akhirnya, selamanya kita belajar terus, berakhir hanya pada saat
meninggal. Tradisi lisan yang menjadi budaya dalam sejarah bela diri
Tatar Pasundan menurunkan berbagai pedoman dalam pembiasaan dan
pemerasaan di bela diri, yang biasanya belum banyak penelitian dan
penelaah yang mendalam mengenai sistem pembelajaran yang unik ini karena
diperlukan pengkajian lebih mendalam untuk “melihat” khazanah kekayaan
yang dimilikinya, salah satu keunikan yang jarang sampai ke khalayak
ramai diantaranya adalah “rasa” maenpo Cikalong menurut cara pandang
orang maenpo Cikalong itu sendiri.
Rasa
Rasa
dalam pengertian maenpo Cikalong yang adalah kejadian atau pengalaman
seseorang mendeteksi keinginan atau kehendak lawan sebelum melakukan
gerakan. Ini didapat dari berbagai pengalaman yang dilatih dengan
“napel” atau “tempelan”dengan berbagai karakter orang. Apabila semakin
banyak seorang praktisi Cikalong melakukan “napel” atau “tempelan”
dengan berbagai orang maka akan semakin banyak input memory yang akan ia
dapat untuk mendeteksi kehendak lawannya. Napel atau tempelan adalah
salah satu bagian dari teknik pelatihan maenpo Cikalong dimana antara
murid dengan murid ataupun murid dengan guru
saling menempelkan
tangan baik satu maupun keduanya yang dimaksud untuk mengetahui,
mengukur dan merasakan seberapa besar tenaga lawan dan arah gerak yang
akan dilakukan Tingkatan Penguasaan Maenpo Cikalong
a. Gerak
Pengertian
gerak menurut maenpo Cikalong adalah semua bentuk teknik bela diri baik
serangan, tangkisan atau elakan yang meliputi kaki dan tangan maupun
pola langkah mengandung tenaga yang masih terlihat oleh mata dan dapat
disaksikan banyak orang. Dengan kata lain segala bentuk pergerakan
anggota badan, pemindahan atau pengubahan posisi badan yang memiliki
niat untuk mencapai sasaran yang terlihat itu dinamakan gerak.
Penggambaran gerak yang dimaksud maenpo Cikalong meliputi setiap
pergerakan anggota badan, lintasan, arah juga pengenaan sasaran.
b. Rasa / Gerak Rasa
Gerak
Rasa adalah gerak yang didapat dari pelatihan yang berulang-ulang
sehingga menjadi suatu kebiasaan tata gerak silat yang benar dan hingga
mencapai tahapan kehalusan, pada penggunaannya gerak rasa ini adalah
keadaan yang tak begitu terlihat mendekati samar oleh banyak orang namun
hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh dua orang yang sedangmelakukan
permainan pencak silat ataupun pertarungan.
perpindahan gerak
anggota badan, namun telah lebih kepada penyaluran tenaga yang biasanya
dilakukan pada tangan adalah antara siku hingga ujung jari tangan,
perpindahan bobot dan berat tubuh, tebal tipis areal sentuhan dan
mengeras atau tidaknya otot. Seseorang yang memasang uda-kuda tengah
sejajar dapat memindahkan bobot dan berat tubuhnya tanpa menggeserkan
kaki dengan jauh, ini dapat dilakukan dengan mengeraskan otot salah satu
kaki atau melakukan enekanan lebih pada salah satu kaki untuk
menitikberatkan posisi ke salah satu kaki.
c. Usik
Usik
adalah gerakan kecil yang tidak lagi dapat dilihat tapi hanya dapat
dirasakan oleh lawannya dengan menggunakan perubahan tenaga dan teknik
yang dilakukan adalah memakai rumusan Madi, Sabandar dan Kari. Usik
sendiri memiliki tingkat kehalusan di atas “rasa” di mana pengerahan
tenaga pada tangan biasanya hanya sebatas pergelangan tangan ingga ujung
jari tangan. Begitu terbatasnya areal penggunaan pada tangan hingga
tingkat kesulitan melakukannyapun sangat tinggi, hal ini pula yang
menjadikannya banyak penafsiran dan memahaman yang berbeda dalam
mengartikan padanan kata dari usik itu ke dalam bahasa keseharian.
Fungsi
usik berbeda dengan gerak, di mana gerak lebih kepada niat mencapai
atau menghindari sasaran sementara usik adalah berfungsi “mematikan
gerak.” Yang dimaksud “mati gerak” dalam usik maenpo Cikalong lebih
kepada terbendungnya keinginan lawan untuk melakukan pergerakan bukan
dengan mencederai apalagi melukai, dimana ketika posisi lawan enak dan
nyaman maka usik berfungsi merubah keadaan di mana menjadikan posisi
lawan tidak enak dan tidak nyaman, atau di mana lawan berkeinginan
memukul maka dengan usik keinginan tersebut dibendung Seperti halnya
rasa jika sebuah usik yang dilakukan dan diperlihatkan pada seseorang
dan orang tersebut belum mendapatkan penjabaran secara lengkap akan
pembagian tingkatan dalam maenpo Cikalong itu sendiri maka seringkali
penafsiran tentang hal tersebut akan jauh dari maksud sebenarnya, hal
itu pula yang membuat nilai keunikan maenpo Cikalong tidak serta merta
sampai kepada khalayak luas.
Sejumput Kaidah Gerak dan Rasa Dalam Maenpo Cikalong
Dalam Pembentukan Pribadi
-
Dalam melakukan gerak dasar Jurus dalam bahasa Sunda dijadikan sebagai
akronim dari dua buah kata yaitu jujur dan lurus. Jujur mengandung makna
bahwa setiap perilaku yang ada pada pribadi seorang praktisi maenpo
Cikalong harus memiliki sikap jujur dan membiasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan lurus berarti bahwa setiap indakan di dalam
kehidupan harus memiliki suatu pedoman yang lurus sebagai arah (dalam
aliran Cikalong agama Islam-lah yang dijadikan sebagai pedoman) guna
menghindarkan diri dari berbagai kesalahan dan perbuatan tercela serta
merugikan diri sendiri dan orang lain.
- Berdiri kokoh memperlihatkan kekokohan niat baik di dalam hati yang hanya mengharapkan akan ke- ridho-an Allah SWT semata
-
Pandangan yang lurus ke depan, memperlihatkan kepercayaan diri dan
keberanian. Maksudnya timbulnya keberanian semata-mata hanyalah sebagai
bentuk perwujudan dari pembelaan atas kebenaran yang diyakini.
-
Badan yang bagian pundak agak sedikit dibungkukkan (rengkuh / bahasa
Sunda) menandakan sikap dan sifat yang sopan santun juga rendahan hati.
Maenpo Cikalong tetap menempatkan etika dan kesantunan (budaya Sunda)
serta kerendahan hati dalam bersifat dan bersikap sehingga lawan yang
dihadapi
- Bersikap tenang
atau rileks dalam sikap pasang, memberikan makna bahwa bagi seorang
praktisi maenpo Cikalong kegagahan bukanlah sikap yang harus ditonjolkan
sehingga ingin mendapat kesan ditakuti. Namun kegagahan adalah bentuk
“kerja” dari suatu hasil.
-
Berhenti sejenak setelah melangkah, memberi arti pembiasaan akan sikap
menahan emosi, kesiapan, kesiagaan dan keberhatian-hatian atau
kewaspadaan.
-Pukulan dengan
tangan yang terbuka mengandung arti kesantunan, dalam sudut pandang
maenpo Cikalong segala bentuk sikap yang memperlihatkan kesombongan dan
menantang (seperti mengepalkan tangan atau meureupan dalam bahasa Sunda
adalah tidak sopan) tidak diperbolehkan.
-
Kembalinya tangan pada posisi awal memberi isyarat bahwa setiap selesai
melaksanakan sesuatu hendaknya tidak lupa untuk kembali.
- Andaikan belum bisa bersilat: jika ada anggota tubuh yang kesusahan maka yang lain harus membantu
- Jika telah mampu / bisa: maka jika ada kesusahan berusahalah sendiri
- Jika telah ahli maka bela diri adalah untuk membela diri dan menyelamatkan diri sendiri dan lawan bukan untuk mencelakakannya.
-
Begitu santunnya etika yang diterapkan seringkali dalam pembahasan
lawan lebih banyak dianggap sebagai tamu.Sehingga ketika seseorang
bertamu disambut, disediakan atau dijamu, diberi oleh-oleh dan
diantarkan (kedah dipapag, disayogikeun, dibekelan, dianter)
-
Dasar kuatnya tenaga karena posisi, rubahlah posisi. Sejajar dibuat
tidak sejajar, tidak sejajar dibuat sejajar. Menyatu dipisahkan,
berpisah disatukan
- Balik ka imah
adalah suatu kaidah dalam maenpo yang mengembalikan posisi kepada
posisi alami manusia sehingga dapat menahan dan mengatasi pergerakan
lawan, mengingatkan diri bahwa penciptaan manusia sebagai sebaik-baik
bentuk adalah hal yang patut disyukuri dalam konteks keimanan.
tulisan ini adalah makalah yang dibuat dan disajikan oleh Sdr Iwan Setiawan
pada seminar pencak silat di Universitas Indonesia, Depok